“Mbak, ayo cepet sarapan sana ! Udah jam 6 lebih itu!” omel bunda.
“Iya,iya. Ini juga lagi sarapan. Kalo di omeli terus kapan makannya, bun?” protesku.
“Kamu juga sih yang salah. Udah tahu pagi-pagi mau ke salon pake tidurnya malam-malam lagi, jadi keburu-buru kan?” tambah bunda.
“Ya ya ya, udah ni lho, bunda! Ayo berangkat!” kataku setelah menyelesaikan sarapan.
Namaku Diarista, Diarista Salfa Pratama. Tapi orang-orang terdekatku lebih suka memanggilku Dea, lebih simpel katanya. Aku penguasa rumah nomor wahid diatas ke-4 adik-adikku yang dengan kata lain anak pertama dari 5 bersaudara. Aku tercatat sebagai murid kelas 3 di SMPN 1 Tulungagung saat ini. Dan pagi ini adalah awal dari sebuah memori sejarah akhir masaku, Wisuda Kelulusan. Yap, nggak terasa sudah 3 tahun aku belajar di SMP bersama teman-teman dan hari ini aku akan resmi dilepas oleh sekolahku itu. Makanya, bunda udah ngomel-ngomel nggak jelas gitu dari pagi. Padahal kan aku yang punya acara, kenapa yang jadi repot bunda sih? Tapi pasrah aja lah, mau gimana lagi?
“De..Dea..Belum apa-apa udah bengong, mikirin apaan? Pengen cepet-cepet ketemu cowoknya ya?” goda Tante Tini mengagetkanku. Dia yang menjadi penata riasku hari ini. Tante Tini memang punya salon jadi apa salahnya menodong saudara sendiri untuk itu, hitung-hitung menghemat biaya.
“Ah, tante! Orang Dea nggak punya cowok” belaku.
“Lha, mikir apa? Masih takut kalo nanti jadi badut ancol kalo udah di make up gini?” tanya Tante Tini.
“Ya begitulah!”
“Udah tenang aja! Tante nggak akan bikin kamu jadi badut kok,” ujar tante Tini masih sibuk mewarnai wajahku. Bakal jadi apa aku nanti?
“Emm, masih segini saja wajahku sudah menakutkan. Apalagi nanti kalo pake udah lengkap, cicak di dinding bisa jatuh karena takut tuh,” kataku. Tante Tini dan bunda cuma tersenyum. Kemudian Tante Tini menyuruhku memilih kebaya yang ada di lemari kaca untuk aku pakai. Aku memilih kebaya berwarna putih tulang dengan paduan warna krem yang dihiasi payet di bagian depan dan manik-manik kecil berbentuk rantai menggantung di bagian bawah. Untuk bawahan aku memilih rok kebaya model duyung supaya tidak menyulitkanku berjalan nanti. Sedangkan untuk jilbab, tante Tini memadukan jilbab paris warna kuning, krem, coklat muda, dan putih tulang yang dimodifikasi dan diberi tambahan bros gold bermata di sisi depan.
“Cepetan dipakai sana, udah jam segini,” kata tante Tini setelah melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 lebih 10 menit. Aku hanya menurut. Aku masuk kamar mas Fryand, anak tente Tini, yang ada di samping kiri lemari kaca kemudian mengganti kostum lamaku dengan kebaya itu.
“Not badI ! Bagus gitu, cocok,” kata tante Tini ketika aku keluar dengan “baju baru” itu.
“Aku nggak pede, tante! Aku paling males kalau di make up dan pake baju ribet kayak gini” sahutku.
“Sudahlah, cepet sini. Tante selesaikan make up kamu,” ujar tante Tini.
“Tante, terima kasih ya. Dea berangkat,” Aku berpamitan dengan tante Tini setelah memakai high heels-ku. Itu tandanya aku sudah siap pergi ke Gedung Victoria, tempat dimana aku akan diwisuda. Siap? Aku nggak yakin seluruh diriku menyetujuinya.
“Iya, sama-sama. Pelan-pelan aja naik motonya, dek Win” pesan tante Tini pada bunda
“Insya Allah, Mbak Tini. Assalamualaikum,” kata bunda
“Waalaikumsalam”
Sepanjang perjalanan aku hanya bisa menatap jalanan sambil berdoa, berdoa, dan berdoa. Aku berharap takkan terjadi sesuatu yang menakutkan disana. Sesekali bunda mengajakku bicara atau bertanya namun aku cuma menjawab sekedarnya saja, pikiranku teracuni oleh perasaanku sendiri.
Sejenak kemudian ponselku berbunyi. Siapa nih yang SMS disaat-saat seperti ini? Aku merogoh tas kecil yang ada dipangkuanku dan mencari benda yang bernyanyi itu. Fafa?
Dek, udah dateng belum? Kok aku belum liat kamu.
Aku membaca pesan itu berulang kali namun indera kepercayaanku kali ini tetap tidak bisa bekerja dengan baik. Aku tak percaya. Dia teman satu kelasku dan dia lebih suka memanggilku adik padahal aku lebih dahulu hidup di dunia daripada dia. Aku cukup dekat dengannya tapi hanya melalui jalur elektronik yaitu SMS. Yah, walau begitu aku juga tetap menyimpan rasa….kagum padanya.
Belum mas. Aku masih dijalan ini. Nervous banget aku sekarang, huh ! Kamu udah disana?
Aku segera menekan tombol send lalu memasukkannya ke dalam tas dan kembali menatap jalan. Tanpa sadar senyumku mengembang dan tingkat percaya diriku meningkat.
Pantas saja ! Of course, sudah disini bareng anak-anak. Cepat datang ya, aku pengen foto sama kamu. Datang sama siapa? Ayah atau Ibu?
Deg ! Nafasku tertahan membaca pesan itu. Terasa berat untuk menghembuskannya kembali. Namun ketika mataku membaca 2 kalimat terakhir pesan itu perasaan galau ganti memenuhi.
Gtw. Ini lagi sama bunda. Tapi kata bunda , nanti ayah yang datang ke acara, setelah praktek di RS sekitar jam 8 lebih. Kalau kamu, ayah kamu yang datang, bukan?
Semoga hal itu benar-benar terjadi. Ayah akan benar-benar datang ke acara wisudaku ini. Aku mencoba mengusir perasaan ragu yang tiba-tiba menghantuiku. Ponselku berbunyi lagi.
Iya adek, ayahku yang datang. Pinter kamu nebaknya. Ya sudah, hati-hati dijalan ya. See you later, my little.
Iya dong, kan keturunan Mama Loreng ini. Siip, beres ! See you, brother.
Aku segera membalas pesan itu dan kembali fokus pada kegiatanku sebelumnya, menatap jalanan.
10 menit kemudian, motor yang aku tumpangi pun memasuki area Gedung Victoria. Teman-teman sudah pada datang ya? Rame banget. Aku turun dari motor kemudian mencium tangan bunda.
“Nanti ayah datang beneran kan, bun?” tanyaku memastikan sebelum bunda pergi.
“Iya. Kemarin kata ayah gitu kok. Jadi kamu nanti pulang bareng ayah, mbak. Ya sudah bunda pulang ya. Nanti ayah biar langsung masuk kalau udah datang,” ujar bunda lalu menyalakan motor dan pergi.
Aku kemudian berbalik badan dan menghampiri teman-temanku. Sedikit berbincang-bincang dan berpose bersama di depan kamera. Bahagia sekali rasanya melihat wajah dan penampilan mereka hari ini. Para cowok juga tak mau ketinggalan. Mereka ikut bergabung bersama kami untuk foto bersama, termasuk Fafa. Ia menatapku kemudian tersenyum. Aku membalasnya dengan senyuman termanis yang bisa aku berikan. Kau terlihat berbeda dengan jasmu, Fa! gumamku. Ternyata ia benar atas perkataannya. Sekarang ia berdiri di samping kananku dan tersenyum menghadap kamera. Yap, kami benar-benar berfoto bersama. Ups, salah ! Lebih tepat kalau aku mengatakan, kami berfoto berdua. Perasaan senangku takkan bisa tertutupi sekarang. Aku berfoto dengan cowok yang aku kagumi. Dia putih, tinggi, cerdas, dan atlit sepak takraw sekolah. Fafa juga suka berpuasa, rajin pergi ke masjid dan satu hal yang penting, hobinya adalah membaca Al Qur’an. Keren kan? Itu alasan mengapa aku mengaguminya.
Sesaat kemudian, semua anak diperintahkan untuk berbaris rapi sesuai nomor urut dan kelas. Lalu kami memasuki Gedung Victoria satu per satu dan menempati kursi yang telah disediakan sesuai kelas dan nomor urut kami.
Ketika tiba saatnya pengalungan gordon atau medali kelulusan ke setiap wisudawan dan wisudawati, aku sempat menengok ke belakang, tempat duduk wali siswa, untuk mencari keberadaan ayahku. Harusnya ayah duduk di bangku paling kanan pada baris ke-3 sesuai nomor urutku, 11. Tapi nihil, ayah tak terlihat di situ. Aku mencoba berpikir positif, mungkin ayah belum datang. Sesekali setelah itu, aku juga mencoba menengok ke bangku itu. Tapi hasilnya tetap tidak ada tanda-tanda ayah datang. Apa boleh buat? Mungkin ayah memang sibuk jadi tak bisa datang. Akhirnya aku berhenti untuk menoleh ke bangku itu.
Acara wisuda hari ini berjalan lancar. Air mataku sempat memaksa ingin keluar ketika mendengar seorang anak membacakan puisi di depan yang diiringi lagu perpisahan. Senyumku juga tak pernah berhenti tersungging ketika pengumuman 5 siswa berprestasi dibacakan di akhir acara dan meminta 5 orang anak yang terpanggil namanya untuk maju. 2 dari 5 nama itu berasal dari kelasku. Dan keduanya itu cowok, Enno dan Fafa. Walaupun bukan namaku yang dipanggil tapi aku cukup bangga dengan kelasku terlebih lagi 2 anak itu.
Namun senyumku tersebut ternyata tak dapat terus menghiasi bibirku ketika acara usai dan mendapati ayahku benar-benar tak datang diacara wisudaku. Setelah melewati pintu keluar, aku mengirim pesan kepada bunda menanyakan apakah ayah hadir di acara itu. Aku juga memberitahunya bahwa acara wisudaku telah usai dan diperbolehkan pulang. Tak ada balasan dari bunda untuk SMS-ku itu. Perasaanku yang gelisah semakin tak karuan. Aku memutuskan untuk menelpon bunda.
Tiit..tiit.. Nada sambung terdengar di ponselku.
10 detik..
Tak ada jawaban….
20 detik….30 detik...
Tetap tak ada jawaban dari bunda. Aku memutuskan hubungan itu dan mencoba menghubungi bunda lagi. Beberapa saat aku mendengar nada sambung dan kemudian terdengar suara bunda. Lega rasanya mendengar suara bunda. Aku mengabarkan acaranya sudah usai kemudian menanyakan keberadaan ayah.
“Ayah ada di rumah, tidur kayaknya. Katanya, ayah males datang kesana karena cuma acara wisuda SMP biasa. Nggak terlalu penting. Paling cuma gitu-gitu saja,” ujar bunda di ujung sana. Jawaban bunda itu benar-benar di luar dugaanku. Aku hanya bisa terdiam mendengar jawaban itu dengan ponsel masih menempel di telingaku.
“Oh iya, kamu pulang sendiri aja ya, mbak. Ayah kan lagi tidur. Bunda juga masih ada pengajian, nggak bawa motor tadi. Naik becak atau bareng temanmu gitu. Kalo ndak bawa uang, dibayar di rumah saja,” tambah bunda. Aku merasa seperti ada halilintar yang menyambarku. Klik ! Aku mematikan telepon itu begitu saja tanpa menjawab perkataan bunda.
Air mataku jatuh tak tertahankan lagi. Lalu aku berjalan menjauhi pintu keluar sambil menunduk. Di luar aku melihat teman-temanku yang bahagia bersama orang tua mereka. Mereka berfoto bersama di studio-studio foto mini yang terdapat di area gedung. Sedangkan aku? Jangankan berfoto, orang tuaku saja tak ada yang datang ke acara itu. Ketika ada anak yang memanggilku dan bertanya dimana orang tuaku, aku hanya perlu menjawab, mereka tak ada, tak datang, dan takkan menjemputku sekarang. Dan anak itu akan mengasihaniku tanpa bisa membantu apapun.
Perlahan aku terus berjalan menjauhi gedung itu menuju jalan raya sambil membawa tas berwarna biru muda di tangan kiri. Air mata ini terus mengalir membasahi kedua mataku walau aku telah sampai di bagian depan gedung megah itu. Aku memanggil becak lalu pulang. Yang ingin aku lakukan sekarang adalah masuk ke kamar, menangis, dan tertidur.
(diea-2011)