Tiittuiitt….Tiiittuiitt…Ringtone ponsel Husna membangunkannya dari lelap tidur. Dengan malas Husna menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih ponsel yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.
“Ha..lo…”, sahut Husna perlahan setelah menekan salah satu tombol ponsel.
“Ya ampun, Na! Kamu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Husna dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget kamu kesiangan? Emang semalam kamu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya, nyelesain portofolio yang disuruh Bu Endah. Wekerku juga rusak, makanya telat bangun,” jelas Husna perlahan.
“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang cepetan mandi dan cepat datang ke sini. Ada kabar penting!” perintah Rara.
“Kabar apaan sih Ra?” tanya Husna dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu.
“Pasti kamu nggak nyangka. Hari ini Tio masuk sekolah, Na!” kata Rara dengan tegas.
Husna yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.
“Serius, Ra?” tanya Husna karena masih ragu dengan apa yang baru saja di dengarnya.
“2 rius deh, neng! Aku nggak becanda. Makanya buruan kamu ke sini,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu aku yah,” jawab Husna yang kemudian meletakkan ponsenya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
Dalam perjalanan Husna terlihat gelisah. Pikirannya bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak Hadi, supirnya, yang sedari tadi mengamati Husna merasa heran. Husna memang sudah sangat merindukan sang pacar, Tio, tapi ia juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini Tio tak masuk sekolah. Tio juga tak pernah memberikan kabar dimana dia berada. Dan saat Husna mendatangi rumah Husna, pembantunya tak mau memberikan informasi tentang keberadaan dan keadaan Tio.
Sahabat dan teman dekat Tio sudah ditanyai Husna, tapi tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru tidak mau memberitahukan apapun tentang Tio, padahal mereka sebenarnya tahu segalanya. Bulan pertama dan kedua Husna seakan tak terima dengan kehilangan Tio yang tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah.
Mobil yang dikendarai Pak Hadi berhenti tepat di depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Husna bergegas keluar dari mobil dan berlari ke arah kelas. Pak Hadi hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Setibanya di kelas, Husna langsung menghampiri Rara.
“Ra! Kamu serius dengan yang tadi kan?” tanya Husna meminta penjelasan Rara.
“Iya, Na! Tadi Tio datang kemari dan nyariin kamu,” jawab Rara.
“Trus kamu ngomong apa sama dia?”
“Ya aku bilang aja kamu belum datang. Terus dia pergi dan dia balik ke kelasnya,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Husna lagi. Rara menjawab dengan anggukan tanda mengiyakan.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Kamu nggak tanya sama dia, Ra?”
“Nggak, aku ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.
Mereka berdua pun terdiam dan merasa heran. Namun Husna nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Tio. Dia merasa bahwa Tio yang bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan tentang hubungan mereka.
Husna menunggu dengan gelisah, sampai bel masuk pun berbunyi dan Husna belum datang. Kemudian pada jam istirahat Husna memutuskan tidak ikut Rara ke kantin. Karena Husna berfikir Tio akan datang kembali menemuinya. Namun untuk kedua kalinya Husna salah menduga.
“Tio belum kemari, Na?” tanya Rara yang sudah kembali dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum Ra.,” jawab Husna sambil menggelengkan kepala dengan wajah kecewa.
“Kenapa ya?”. Rara merasa heran diikuti gelengan kepala dan bahu Husna yang terangkat, menandakan Husna juga heran dan tak mengerti.
“Tapi kamu tenang aja, Na. Aku yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin kamu,” kata Rara dengan tegas.
Dan ternyata dugaan Rara benar. Tio sudah berada tepat di depan pintu kelas menunggu. Husna berdiri terpaku, bibirnya terasa beku. Sedangkan Tio juga terlihat sangat gugup, seakan tidak siap bertemu Husna.
Namun kerinduannya yang besar kepada Husna mengalahkan ketidaksiapannya. Rara tidak ingin mengganggu percakapan sahabatnya itu, ia tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga Rara memutuskan pulang duluan.
“Hai, Na,” sapa Tio dengan lembut.
“Hai…,” jawab Husna singkat.
“Apa kabar?” tanya Tio.
“Baik, kamu?” Husna menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Tio.
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Tio.
Husna mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Tio. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Tio membawa Husna ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua.
Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.
“Aku mau minta maaf sama kamu, Na, karena selama ini aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Tio berusaha memulai pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu tahu nggak, aku udah nyariin kamu ke mana-mana,” Husna merasa tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya.
“A….ku, sakit, Na!” jawab Tio dengan sangat lambat.
“Sakit?” Husna merasa jawaban Tio bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.
“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku, aku kan pacar kamu. Aku bisa ngerawat kamu juga, bisa bantu kamu kalo kamu butuh sesuatu.”
“Aku tahu, Na, tapi ini nggak segampang itu.”
“Maksud kamu?” Husna semakin terlihat bingung dengan perkataan Tio yang nggak jelas. Tio terdiam, mukanya terlihat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Husna.
“Yo? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Husna mengguncang badan Tio, memaksa Tio menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.
“Aku…aku…aku menderita pembengkaan paru-paru, Na,” jelas Tio dengan perlahan.
“Apa?” Husna terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Tio akan seserius itu.
“Selama tiga bulan ini aku menghilang, karena bunda membawaku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di sana aku terapi dan aku sempat kritis, Na,” Tio melanjutkan penjelasannya.
“Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”
“Ya ampun, Tio….Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?” keluh Husna dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar semuanya kamu ninggalin aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut kehilangan kamu, Na.” Tio menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya seorang anak kecil.
Melihat kesedihan pacarnya itu hati Husna hancur. Husna meraih tangan Tio dan memegangnya erat-erat.
“Aku cinta sama kamu, dan aku cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar Husna sambil menatap Tio tulus.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah, Na, aku nggak tahu kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau mungkin tiga tahun lagi,” tambah Tio dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh…… demi aku,” tambah Husna meyakinkan Tio.
Tio terharu dengan perkataan Husna. Ia merasa semangat hidupnya kembali lagi.
“Aku janji sama kamu, aku akan berusaha untuk sembuh.”
Tio langsung memeluk Husna dengan erat. Sudah lama pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam kebersamaan itu. Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun sebenarnya Husna tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin memberikan semangat penuh untuk Tio, karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Tio ke Singapura mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Husna hanya ingin memberikan kenangan yang terindah untuk Tio. Kenangan yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Tio rasakan. Mereka berdua benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Husna, ia berharap ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori indah dalam hidupnya. (diea-11)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar