“Ya….. masa Dinda ke sekolah harus naik bis sih, Bun?” rengek Dinda
“Hari ini Pak Man nggak bisa ngantar. Karena anaknya lagi sakit, dan semalam dia izin pulang. Udah, sekali-kali kamu berangkat naik bis, napa? Buruan sana berangkat, ntar kamu telat lho!” jelas bunda panjang.
“Ya udah deh….Dinda pergi dulu ya, Bun!”. Dinda berpamitan dengan bundanya. Tak lupa mencium pipi bunda.
Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi Dinda. Seperti kata bunda, Pak Man, supirnya, harus mengantar anaknya ke rumah sakit. Alhasil dia harus berangkat ke sekolah naik bis.
“Duh Bunda ne, kenapa nggak nyari orang lain sih buat nganterin aku, terpaksa deh aku naik bis. Mana panas lagi.” gerutu Dinda saat bis mulai berjalan.
Saat dia lagi sibuk mengoceh, tiba-tiba muncul cowok cakep duduk tepat di sebelah Dinda. Jantung Dinda serasa sedang pertandingan maraton saat cowok itu tersenyum padanya.
Dinda merasa begitu lega dan semua kekesalannya hilang seketika. Senyum cowok itu sangat manis, apalagi ditambah dengan sorot matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit yang tertahankan olehnya.
Seharian ini kerja Dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo Dinda kesambet setan halte bus.
“Duh….tu cowok manis banget ya…… saat aku liat mukanya, aku ngerasa kalo bebanku naik bis itu musnah semua. Siapa ya nama tu cowok? Rasanya aku pengen banget kenalan ama tu cowok. Tapi aku malu. Hm…. Aku kasih nama “Teduh” aja deh… Soalnya matanya itu teduh banget. And mulai besok aku bakalan naik bis deh… Aku pengen ngeliat muka tuh cowok lagi” pikir Dinda yang masih tak berhenti memikirkan cowok tadi. Hingga akhirnya dia tertidur sambil berharap bisa menemukan cowok itu di mimpi indahnya.
***
Paginya….
“Bun, Dinda pergi sekolah dulu ya…!” pamit Dinda sambil mencium pipi bundanya
“Lho, Din, kamu nggak nunggu Pak Man dulu?”
“Nggaklah, Bun, hari ini Dinda pengen naik bis aja….daaa Bunda,” ucap Dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.
“Duh si teduh mana ya? Kok belum datang sih?” batin Dinda saat sampai di halte dengan gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tapi baru saja Dinda gelisah dengan pertanyaan yang ada di hatinya, tiba-tiba muncul seorang cowok yang bermata teduh. Cowok itu tersenyum dan menyapa Dinda.
“Hei….. Kamu baru naik bis ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat Dinda terpaku.
“Lho kok diam?”
“Eh….sorry…. tadi kamu ngomong apa?
“Aku tanya, kamu baru naik bis ya? Soalnya aku baru ngeliat kamu kemarin”.
“Ha…, oh iya…..nam…..” belum Dinda menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba bis yang menuju ke sekolah Dinda datang.
“Eh… tu bus kamu udah datang”.
“Oh iya….hm… aku berangkat duluan ya…,” pamit Dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah Dinda berat banget buat ninggalin ”teduh” nya itu.
***
Sudah sebulan Dinda kerajingan naik bis hanya untuk dapat bertemu dengan cowok pujaan hatinya itu. Tapi nggak pernah sekalipun dia berani berkenalan dengan ”teduh”. Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tak berani. Sampai akhirnya suatu hari Dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan ”teduh” hari ini. Tapi orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
***
Seminggu sudah Dinda tak bertemu dengan sang pujaan hati. “Teduh” tak pernah muncul lagi. Dan seminggu pula Dinda melewati hari-harinya dengan tidak bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu dengan “teduh”. Kemana dia? gumam Dinda.
Suatu pagi, saat ia memutuskan masa penantiannya usai dan hari itu adalah terakhir kalinya ia menunggu bis. Kursi di halte yang biasa di duduki “teduh” sudah di duduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya. Tapi dari raut wajahnya, tampak sekali kalau beliau sedang bersedih. Tiba-tiba ibu itu menyapa Dinda dengan ramah.
“Lagi nunggu bis ya, Dek?” sapanya ramah
“Iya Bu….”
“Kalo anak saya masih ada, dia mungkin duduk di sini dan nungguin bis juga kayak kamu!”
“Lho….memangnya anak ibu kemana?”
“Anak saya udah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.
“Maksud Ibu dia pindah ke luar kota ya?”
“Bukan nak, dia udah meninggal dunia”.
“Oh…maaf ya Bu….”
“Nggak apa-apa kok dek….. Satu hal yang paling saya ingat dari dia adalah matanya. Dia itu punya mata yang teduh sekali, setiap orang yang melihatnya pasti bakal tenang.”
“Sayang ya Bu, saya tak bisa bertemu dengannya. Tapi dari cerita ibu, saya merasa dia mirip sekali dengan seseorang. Dia teman saya, namun hingga sekarang saya belum mengetahui namanya bahkan sekarang dia menghilang”
“Benarkah, dek? Hm…..kebetulan saya selalu membawa fotonya. Namun sepertinya foto itu ketika ia masih duduk dibangku SMP” jawab ibu itu sambil merogoh tas dan mengambil foto ukuran 4R kemudian menyerahkan foto anaknya itu kepada Dinda.
“Matanya benar-benar teduh,bu. Sama seperti teman saya itu.”
“Wah, pasti adik sangat senang ketika teman adik itu tersenyum dan matanya bersinar. Karena dengan begitu keteduhannya akan semakin terlihat. Seperti itulah yang ibu rasakan,” ujar ibu itu. Sedikit menerawang kemudian tersadarkan. Sepertinya ia mengingat sesuatu.
“Oh ya…. sebelumnya ibu bisa minta tolong kamu, bisa tidak kamu membantu ibu?”
“Apa yang bisa saya bantu, Bu?”. Ibu tersebut kemudian menyerahkan sebuah amplop kepada Dinda. Dinda tak memahami apa maksud ibu itu.
“Di dalam amplop itu, ada sepucuk surat. Anak saya menuliskan surat terakhirnya. Dan dia berpesan agar surat itu diberikan kepada seorang cewek yang bernama Dinda. Kalo adik mengenalnya, saya minta tolong sekali supaya adik bisa menyampaikannya kepada Dinda. Saya bingung harus mencari kemana,” terang ibu itu.
“Dinda? Nama saya Dinda, Bu. Apakah mungkin yang anak ibu maksudkan itu saya?”
“Adik itu…. Dinda? Kapan adik pertama kali naik bis?” ibu itu bertanya dengan hati-hati.
“Sebulan yang lalu” jawab Dinda pelan. Pikirannya tak tenang. Matanya sudah mulai berkaca-kaca mendengar penjelasan ibu itu. Ia berharap dugaannya salah.
“Alhamdulillah…Sepertinya surat itu memang untuk adik. Sebab, anak saya pernah bercerita bahwa ia bertemu dengan seorang cewek bernama Dinda itu 1 bulan yang lalu. Ya sudah, ibu pergi dulu, Dik. Terima kasih, Dinda”. Jawaban ibu tersebut seperti kilatan petir untuk Dinda. Apakah anak ibu yang dimaksud tadi adalah “teduh”-nya. Ia bingung dan takut kalo cowok itu ternyata benar-benar “teduh”nya. Segera ia membuka amplop yang ada di tangannya lalu mengambil surat yang terlipat rapi di dalamnya. Dinda membuka lipatan surat itu perlahan dengan hati yang tak karuan.
Halo Dinda….
Mungkin ketika kamu membaca surat ini, waktuku sudah habis untuk hidup dan menikmati indahnya dunia ini….
Apakah kamu bertanya-tanya, mengapa aku tahu namamu?
Itu karena aku sengaja melihat namamu yang ada di bagian depan seragam sekolahmu…..
Andai saja aku masih hidup, ingin rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih dekat denganmu, tapi aku tak berdaya menahan sakitnya kepalaku ini.
Sekarang aku percaya dengan cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa aku sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu…
Tapi aku ngggak punya keberanian buat ngungkapinnya…
Kita memang belum saling kenal, tapi setidaknya sekarang aku sudah lega, karena sebelum aku meninggalkan dunia ini, aku bisa mengungkapkan perasaanku ini, walaupun hanya lewat sepucuk surat….
Sehingga aku bisa meninggalkan dunia ini tanpa beban memendam perasaan ini lagi….
Terima kasih karena kamu bisa mengajari aku tentang rasanya jatuh cinta…. Dan telah menambah semangatku untuk bertahan hidup lebih lama.
Dariku : Fiand
Ingin rasanya Dinda menangis kala itu. Tedunya telah pergi. Dinda kembali melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop. Ia beralih menatap foto yang ada di tangan kirinya. Benar, cowok yang ada di foto itu benar-benar teduhnya, Fiand namanya. Ia merasa begitu tak bertenaga saat melihat sosok dalam foto itu adalah lelaki yang memiliki mata teduh itu. Sepasang mata yang membuatnya menanti selama sebulan. Membuatnya rela berpanas-panasan menunggu bis, dan membuatnya selalu bersemangat melewati hari.
Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak berbicara. Dan sekarang Dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian ”teduh” bersama dengan rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.
“Hari ini Pak Man nggak bisa ngantar. Karena anaknya lagi sakit, dan semalam dia izin pulang. Udah, sekali-kali kamu berangkat naik bis, napa? Buruan sana berangkat, ntar kamu telat lho!” jelas bunda panjang.
“Ya udah deh….Dinda pergi dulu ya, Bun!”. Dinda berpamitan dengan bundanya. Tak lupa mencium pipi bunda.
Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi Dinda. Seperti kata bunda, Pak Man, supirnya, harus mengantar anaknya ke rumah sakit. Alhasil dia harus berangkat ke sekolah naik bis.
“Duh Bunda ne, kenapa nggak nyari orang lain sih buat nganterin aku, terpaksa deh aku naik bis. Mana panas lagi.” gerutu Dinda saat bis mulai berjalan.
Saat dia lagi sibuk mengoceh, tiba-tiba muncul cowok cakep duduk tepat di sebelah Dinda. Jantung Dinda serasa sedang pertandingan maraton saat cowok itu tersenyum padanya.
Dinda merasa begitu lega dan semua kekesalannya hilang seketika. Senyum cowok itu sangat manis, apalagi ditambah dengan sorot matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit yang tertahankan olehnya.
Seharian ini kerja Dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo Dinda kesambet setan halte bus.
“Duh….tu cowok manis banget ya…… saat aku liat mukanya, aku ngerasa kalo bebanku naik bis itu musnah semua. Siapa ya nama tu cowok? Rasanya aku pengen banget kenalan ama tu cowok. Tapi aku malu. Hm…. Aku kasih nama “Teduh” aja deh… Soalnya matanya itu teduh banget. And mulai besok aku bakalan naik bis deh… Aku pengen ngeliat muka tuh cowok lagi” pikir Dinda yang masih tak berhenti memikirkan cowok tadi. Hingga akhirnya dia tertidur sambil berharap bisa menemukan cowok itu di mimpi indahnya.
***
Paginya….
“Bun, Dinda pergi sekolah dulu ya…!” pamit Dinda sambil mencium pipi bundanya
“Lho, Din, kamu nggak nunggu Pak Man dulu?”
“Nggaklah, Bun, hari ini Dinda pengen naik bis aja….daaa Bunda,” ucap Dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.
“Duh si teduh mana ya? Kok belum datang sih?” batin Dinda saat sampai di halte dengan gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tapi baru saja Dinda gelisah dengan pertanyaan yang ada di hatinya, tiba-tiba muncul seorang cowok yang bermata teduh. Cowok itu tersenyum dan menyapa Dinda.
“Hei….. Kamu baru naik bis ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat Dinda terpaku.
“Lho kok diam?”
“Eh….sorry…. tadi kamu ngomong apa?
“Aku tanya, kamu baru naik bis ya? Soalnya aku baru ngeliat kamu kemarin”.
“Ha…, oh iya…..nam…..” belum Dinda menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba bis yang menuju ke sekolah Dinda datang.
“Eh… tu bus kamu udah datang”.
“Oh iya….hm… aku berangkat duluan ya…,” pamit Dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah Dinda berat banget buat ninggalin ”teduh” nya itu.
***
Sudah sebulan Dinda kerajingan naik bis hanya untuk dapat bertemu dengan cowok pujaan hatinya itu. Tapi nggak pernah sekalipun dia berani berkenalan dengan ”teduh”. Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tak berani. Sampai akhirnya suatu hari Dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan ”teduh” hari ini. Tapi orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
***
Seminggu sudah Dinda tak bertemu dengan sang pujaan hati. “Teduh” tak pernah muncul lagi. Dan seminggu pula Dinda melewati hari-harinya dengan tidak bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu dengan “teduh”. Kemana dia? gumam Dinda.
Suatu pagi, saat ia memutuskan masa penantiannya usai dan hari itu adalah terakhir kalinya ia menunggu bis. Kursi di halte yang biasa di duduki “teduh” sudah di duduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya. Tapi dari raut wajahnya, tampak sekali kalau beliau sedang bersedih. Tiba-tiba ibu itu menyapa Dinda dengan ramah.
“Lagi nunggu bis ya, Dek?” sapanya ramah
“Iya Bu….”
“Kalo anak saya masih ada, dia mungkin duduk di sini dan nungguin bis juga kayak kamu!”
“Lho….memangnya anak ibu kemana?”
“Anak saya udah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.
“Maksud Ibu dia pindah ke luar kota ya?”
“Bukan nak, dia udah meninggal dunia”.
“Oh…maaf ya Bu….”
“Nggak apa-apa kok dek….. Satu hal yang paling saya ingat dari dia adalah matanya. Dia itu punya mata yang teduh sekali, setiap orang yang melihatnya pasti bakal tenang.”
“Sayang ya Bu, saya tak bisa bertemu dengannya. Tapi dari cerita ibu, saya merasa dia mirip sekali dengan seseorang. Dia teman saya, namun hingga sekarang saya belum mengetahui namanya bahkan sekarang dia menghilang”
“Benarkah, dek? Hm…..kebetulan saya selalu membawa fotonya. Namun sepertinya foto itu ketika ia masih duduk dibangku SMP” jawab ibu itu sambil merogoh tas dan mengambil foto ukuran 4R kemudian menyerahkan foto anaknya itu kepada Dinda.
“Matanya benar-benar teduh,bu. Sama seperti teman saya itu.”
“Wah, pasti adik sangat senang ketika teman adik itu tersenyum dan matanya bersinar. Karena dengan begitu keteduhannya akan semakin terlihat. Seperti itulah yang ibu rasakan,” ujar ibu itu. Sedikit menerawang kemudian tersadarkan. Sepertinya ia mengingat sesuatu.
“Oh ya…. sebelumnya ibu bisa minta tolong kamu, bisa tidak kamu membantu ibu?”
“Apa yang bisa saya bantu, Bu?”. Ibu tersebut kemudian menyerahkan sebuah amplop kepada Dinda. Dinda tak memahami apa maksud ibu itu.
“Di dalam amplop itu, ada sepucuk surat. Anak saya menuliskan surat terakhirnya. Dan dia berpesan agar surat itu diberikan kepada seorang cewek yang bernama Dinda. Kalo adik mengenalnya, saya minta tolong sekali supaya adik bisa menyampaikannya kepada Dinda. Saya bingung harus mencari kemana,” terang ibu itu.
“Dinda? Nama saya Dinda, Bu. Apakah mungkin yang anak ibu maksudkan itu saya?”
“Adik itu…. Dinda? Kapan adik pertama kali naik bis?” ibu itu bertanya dengan hati-hati.
“Sebulan yang lalu” jawab Dinda pelan. Pikirannya tak tenang. Matanya sudah mulai berkaca-kaca mendengar penjelasan ibu itu. Ia berharap dugaannya salah.
“Alhamdulillah…Sepertinya surat itu memang untuk adik. Sebab, anak saya pernah bercerita bahwa ia bertemu dengan seorang cewek bernama Dinda itu 1 bulan yang lalu. Ya sudah, ibu pergi dulu, Dik. Terima kasih, Dinda”. Jawaban ibu tersebut seperti kilatan petir untuk Dinda. Apakah anak ibu yang dimaksud tadi adalah “teduh”-nya. Ia bingung dan takut kalo cowok itu ternyata benar-benar “teduh”nya. Segera ia membuka amplop yang ada di tangannya lalu mengambil surat yang terlipat rapi di dalamnya. Dinda membuka lipatan surat itu perlahan dengan hati yang tak karuan.
Halo Dinda….
Mungkin ketika kamu membaca surat ini, waktuku sudah habis untuk hidup dan menikmati indahnya dunia ini….
Apakah kamu bertanya-tanya, mengapa aku tahu namamu?
Itu karena aku sengaja melihat namamu yang ada di bagian depan seragam sekolahmu…..
Andai saja aku masih hidup, ingin rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih dekat denganmu, tapi aku tak berdaya menahan sakitnya kepalaku ini.
Sekarang aku percaya dengan cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa aku sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu…
Tapi aku ngggak punya keberanian buat ngungkapinnya…
Kita memang belum saling kenal, tapi setidaknya sekarang aku sudah lega, karena sebelum aku meninggalkan dunia ini, aku bisa mengungkapkan perasaanku ini, walaupun hanya lewat sepucuk surat….
Sehingga aku bisa meninggalkan dunia ini tanpa beban memendam perasaan ini lagi….
Terima kasih karena kamu bisa mengajari aku tentang rasanya jatuh cinta…. Dan telah menambah semangatku untuk bertahan hidup lebih lama.
Dariku : Fiand
Ingin rasanya Dinda menangis kala itu. Tedunya telah pergi. Dinda kembali melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop. Ia beralih menatap foto yang ada di tangan kirinya. Benar, cowok yang ada di foto itu benar-benar teduhnya, Fiand namanya. Ia merasa begitu tak bertenaga saat melihat sosok dalam foto itu adalah lelaki yang memiliki mata teduh itu. Sepasang mata yang membuatnya menanti selama sebulan. Membuatnya rela berpanas-panasan menunggu bis, dan membuatnya selalu bersemangat melewati hari.
Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak berbicara. Dan sekarang Dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian ”teduh” bersama dengan rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.