0

Hilangnya Teduh

“Ya….. masa Dinda ke sekolah harus naik bis sih, Bun?” rengek Dinda
“Hari ini Pak Man nggak bisa ngantar. Karena anaknya lagi sakit, dan semalam dia izin pulang. Udah, sekali-kali kamu berangkat naik bis, napa? Buruan sana berangkat, ntar kamu telat lho!” jelas bunda panjang.
“Ya udah deh….Dinda pergi dulu ya, Bun!”. Dinda berpamitan dengan bundanya. Tak lupa mencium pipi bunda.
Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi Dinda. Seperti kata bunda, Pak Man, supirnya, harus mengantar anaknya ke rumah sakit. Alhasil dia harus berangkat ke sekolah naik bis.
“Duh Bunda ne, kenapa nggak nyari orang lain sih buat nganterin aku, terpaksa deh aku naik bis. Mana panas lagi.” gerutu Dinda saat bis mulai berjalan.
Saat dia lagi sibuk mengoceh, tiba-tiba muncul cowok cakep duduk tepat di sebelah Dinda. Jantung Dinda serasa sedang pertandingan maraton saat cowok itu tersenyum padanya.
Dinda merasa begitu lega dan semua kekesalannya hilang seketika. Senyum cowok itu sangat manis, apalagi ditambah dengan sorot matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit yang tertahankan olehnya.
Seharian ini kerja Dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo Dinda kesambet setan halte bus.
“Duh….tu cowok manis banget ya…… saat aku liat mukanya, aku ngerasa kalo bebanku naik bis itu musnah semua. Siapa ya nama tu cowok? Rasanya aku pengen banget kenalan ama tu cowok. Tapi aku malu. Hm…. Aku kasih nama “Teduh” aja deh… Soalnya matanya itu teduh banget. And mulai besok aku bakalan naik bis deh… Aku pengen ngeliat muka tuh cowok lagi” pikir Dinda yang masih tak berhenti memikirkan cowok tadi. Hingga akhirnya dia tertidur sambil berharap bisa menemukan cowok itu di mimpi indahnya.

***

Paginya….
“Bun, Dinda pergi sekolah dulu ya…!” pamit Dinda sambil mencium pipi bundanya
“Lho, Din, kamu nggak nunggu Pak Man dulu?”
“Nggaklah, Bun, hari ini Dinda pengen naik bis aja….daaa Bunda,” ucap Dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.
“Duh si teduh mana ya? Kok belum datang sih?” batin Dinda saat sampai di halte dengan gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tapi baru saja Dinda gelisah dengan pertanyaan yang ada di hatinya, tiba-tiba muncul seorang cowok yang bermata teduh. Cowok itu tersenyum dan menyapa Dinda.
“Hei….. Kamu baru naik bis ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat Dinda terpaku.
“Lho kok diam?”
“Eh….sorry…. tadi kamu ngomong apa?
“Aku tanya, kamu baru naik bis ya? Soalnya aku baru ngeliat kamu kemarin”.
“Ha…, oh iya…..nam…..” belum Dinda menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba bis yang menuju ke sekolah Dinda datang.
“Eh… tu bus kamu udah datang”.
“Oh iya….hm… aku berangkat duluan ya…,” pamit Dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah Dinda berat banget buat ninggalin ”teduh” nya itu.
***

Sudah sebulan Dinda kerajingan naik bis hanya untuk dapat bertemu dengan cowok pujaan hatinya itu. Tapi nggak pernah sekalipun dia berani berkenalan dengan ”teduh”. Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tak berani. Sampai akhirnya suatu hari Dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan ”teduh” hari ini. Tapi orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.

***

Seminggu sudah Dinda tak bertemu dengan sang pujaan hati. “Teduh” tak pernah muncul lagi. Dan seminggu pula Dinda melewati hari-harinya dengan tidak bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu dengan “teduh”. Kemana dia? gumam Dinda.
Suatu pagi, saat ia memutuskan masa penantiannya usai dan hari itu adalah terakhir kalinya ia menunggu bis. Kursi di halte yang biasa di duduki “teduh” sudah di duduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya. Tapi dari raut wajahnya, tampak sekali kalau beliau sedang bersedih. Tiba-tiba ibu itu menyapa Dinda dengan ramah.
“Lagi nunggu bis ya, Dek?” sapanya ramah
“Iya Bu….”
“Kalo anak saya masih ada, dia mungkin duduk di sini dan nungguin bis juga kayak kamu!”
“Lho….memangnya anak ibu kemana?”
“Anak saya udah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.
“Maksud Ibu dia pindah ke luar kota ya?”
“Bukan nak, dia udah meninggal dunia”.
“Oh…maaf ya Bu….”
“Nggak apa-apa kok dek….. Satu hal yang paling saya ingat dari dia adalah matanya. Dia itu punya mata yang teduh sekali, setiap orang yang melihatnya pasti bakal tenang.”
“Sayang ya Bu, saya tak bisa bertemu dengannya. Tapi dari cerita ibu, saya merasa dia mirip sekali dengan seseorang. Dia teman saya, namun hingga sekarang saya belum mengetahui namanya bahkan sekarang dia menghilang”
“Benarkah, dek? Hm…..kebetulan saya selalu membawa fotonya. Namun sepertinya foto itu ketika ia masih duduk dibangku SMP” jawab ibu itu sambil merogoh tas dan mengambil foto ukuran 4R kemudian menyerahkan foto anaknya itu kepada Dinda.
“Matanya benar-benar teduh,bu. Sama seperti teman saya itu.”
“Wah, pasti adik sangat senang ketika teman adik itu tersenyum dan matanya bersinar. Karena dengan begitu keteduhannya akan semakin terlihat. Seperti itulah yang ibu rasakan,” ujar ibu itu. Sedikit menerawang kemudian tersadarkan. Sepertinya ia mengingat sesuatu.
“Oh ya…. sebelumnya ibu bisa minta tolong kamu, bisa tidak kamu membantu ibu?”
“Apa yang bisa saya bantu, Bu?”. Ibu tersebut kemudian menyerahkan sebuah amplop kepada Dinda. Dinda tak memahami apa maksud ibu itu.
“Di dalam amplop itu, ada sepucuk surat. Anak saya menuliskan surat terakhirnya. Dan dia berpesan agar surat itu diberikan kepada seorang cewek yang bernama Dinda. Kalo adik mengenalnya, saya minta tolong sekali supaya adik bisa menyampaikannya kepada Dinda. Saya bingung harus mencari kemana,” terang ibu itu.
“Dinda? Nama saya Dinda, Bu. Apakah mungkin yang anak ibu maksudkan itu saya?”
“Adik itu…. Dinda? Kapan adik pertama kali naik bis?” ibu itu bertanya dengan hati-hati.
“Sebulan yang lalu” jawab Dinda pelan. Pikirannya tak tenang. Matanya sudah mulai berkaca-kaca mendengar penjelasan ibu itu. Ia berharap dugaannya salah.
“Alhamdulillah…Sepertinya surat itu memang untuk adik. Sebab, anak saya pernah bercerita bahwa ia bertemu dengan seorang cewek bernama Dinda itu 1 bulan yang lalu. Ya sudah, ibu pergi dulu, Dik. Terima kasih, Dinda”. Jawaban ibu tersebut seperti kilatan petir untuk Dinda. Apakah anak ibu yang dimaksud tadi adalah “teduh”-nya. Ia bingung dan takut kalo cowok itu ternyata benar-benar “teduh”nya. Segera ia membuka amplop yang ada di tangannya lalu mengambil surat yang terlipat rapi di dalamnya. Dinda membuka lipatan surat itu perlahan dengan hati yang tak karuan.

Halo Dinda….
Mungkin ketika kamu membaca surat ini, waktuku sudah habis untuk hidup dan menikmati indahnya dunia ini….
Apakah kamu bertanya-tanya, mengapa aku tahu namamu?
Itu karena aku sengaja melihat namamu yang ada di bagian depan seragam sekolahmu…..
Andai saja aku masih hidup, ingin rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih dekat denganmu, tapi aku tak berdaya menahan sakitnya kepalaku ini.
Sekarang aku percaya dengan cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa aku sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu…
Tapi aku ngggak punya keberanian buat ngungkapinnya…
Kita memang belum saling kenal, tapi setidaknya sekarang aku sudah lega, karena sebelum aku meninggalkan dunia ini, aku bisa mengungkapkan perasaanku ini, walaupun hanya lewat sepucuk surat….
Sehingga aku bisa meninggalkan dunia ini tanpa beban memendam perasaan ini lagi….
Terima kasih karena kamu bisa mengajari aku tentang rasanya jatuh cinta…. Dan telah menambah semangatku untuk bertahan hidup lebih lama.

Dariku : Fiand

Ingin rasanya Dinda menangis kala itu. Tedunya telah pergi. Dinda kembali melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop. Ia beralih menatap foto yang ada di tangan kirinya. Benar, cowok yang ada di foto itu benar-benar teduhnya, Fiand namanya. Ia merasa begitu tak bertenaga saat melihat sosok dalam foto itu adalah lelaki yang memiliki mata teduh itu. Sepasang mata yang membuatnya menanti selama sebulan. Membuatnya rela berpanas-panasan menunggu bis, dan membuatnya selalu bersemangat melewati hari.
Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak berbicara. Dan sekarang Dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian ”teduh” bersama dengan rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.
0

Demi Kamu, Husna

Tiittuiitt….Tiiittuiitt…Ringtone ponsel Husna membangunkannya dari lelap tidur. Dengan malas Husna menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih ponsel yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.
“Ha..lo…”, sahut Husna perlahan setelah menekan salah satu tombol ponsel.
“Ya ampun, Na! Kamu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Husna dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget kamu kesiangan? Emang semalam kamu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya, nyelesain portofolio yang disuruh Bu Endah. Wekerku juga rusak, makanya telat bangun,” jelas Husna perlahan.
“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang cepetan mandi dan cepat datang ke sini. Ada kabar penting!” perintah Rara.
“Kabar apaan sih Ra?” tanya Husna dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu.
“Pasti kamu nggak nyangka. Hari ini Tio masuk sekolah, Na!” kata Rara dengan tegas.
Husna yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.
“Serius, Ra?” tanya Husna karena masih ragu dengan apa yang baru saja di dengarnya.
“2 rius deh, neng! Aku nggak becanda. Makanya buruan kamu ke sini,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu aku yah,” jawab Husna yang kemudian meletakkan ponsenya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
Dalam perjalanan Husna terlihat gelisah. Pikirannya bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak Hadi, supirnya, yang sedari tadi mengamati Husna merasa heran. Husna memang sudah sangat merindukan sang pacar, Tio, tapi ia juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini Tio tak masuk sekolah. Tio juga tak pernah memberikan kabar dimana dia berada. Dan saat Husna mendatangi rumah Husna, pembantunya tak mau memberikan informasi tentang keberadaan dan keadaan Tio.
Sahabat dan teman dekat Tio sudah ditanyai Husna, tapi tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru tidak mau memberitahukan apapun tentang Tio, padahal mereka sebenarnya tahu segalanya. Bulan pertama dan kedua Husna seakan tak terima dengan kehilangan Tio yang tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah.
Mobil yang dikendarai Pak Hadi berhenti tepat di depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Husna bergegas keluar dari mobil dan berlari ke arah kelas. Pak Hadi hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Setibanya di kelas, Husna langsung menghampiri Rara.
“Ra! Kamu serius dengan yang tadi kan?” tanya Husna meminta penjelasan Rara.
“Iya, Na! Tadi Tio datang kemari dan nyariin kamu,” jawab Rara.
“Trus kamu ngomong apa sama dia?”
“Ya aku bilang aja kamu belum datang. Terus dia pergi dan dia balik ke kelasnya,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Husna lagi. Rara menjawab dengan anggukan tanda mengiyakan.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Kamu nggak tanya sama dia, Ra?”
“Nggak, aku ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.
Mereka berdua pun terdiam dan merasa heran. Namun Husna nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Tio. Dia merasa bahwa Tio yang bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan tentang hubungan mereka.
Husna menunggu dengan gelisah, sampai bel masuk pun berbunyi dan Husna belum datang. Kemudian pada jam istirahat Husna memutuskan tidak ikut Rara ke kantin. Karena Husna berfikir Tio akan datang kembali menemuinya. Namun untuk kedua kalinya Husna salah menduga.
“Tio belum kemari, Na?” tanya Rara yang sudah kembali dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum Ra.,” jawab Husna sambil menggelengkan kepala dengan wajah kecewa.
“Kenapa ya?”. Rara merasa heran diikuti gelengan kepala dan bahu Husna yang terangkat, menandakan Husna juga heran dan tak mengerti.
“Tapi kamu tenang aja, Na. Aku yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin kamu,” kata Rara dengan tegas.
Dan ternyata dugaan Rara benar. Tio sudah berada tepat di depan pintu kelas menunggu. Husna berdiri terpaku, bibirnya terasa beku. Sedangkan Tio juga terlihat sangat gugup, seakan tidak siap bertemu Husna.
Namun kerinduannya yang besar kepada Husna mengalahkan ketidaksiapannya. Rara tidak ingin mengganggu percakapan sahabatnya itu, ia tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga Rara memutuskan pulang duluan.
“Hai, Na,” sapa Tio dengan lembut.
“Hai…,” jawab Husna singkat.
“Apa kabar?” tanya Tio.
“Baik, kamu?” Husna menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Tio.
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Tio.
Husna mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Tio. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Tio membawa Husna ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua.
Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.
“Aku mau minta maaf sama kamu, Na, karena selama ini aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Tio berusaha memulai pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu tahu nggak, aku udah nyariin kamu ke mana-mana,” Husna merasa tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya.
“A….ku, sakit, Na!” jawab Tio dengan sangat lambat.
“Sakit?” Husna merasa jawaban Tio bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.
“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku, aku kan pacar kamu. Aku bisa ngerawat kamu juga, bisa bantu kamu kalo kamu butuh sesuatu.”
“Aku tahu, Na, tapi ini nggak segampang itu.”
“Maksud kamu?” Husna semakin terlihat bingung dengan perkataan Tio yang nggak jelas. Tio terdiam, mukanya terlihat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Husna.
“Yo? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Husna mengguncang badan Tio, memaksa Tio menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.
“Aku…aku…aku menderita pembengkaan paru-paru, Na,” jelas Tio dengan perlahan.
“Apa?” Husna terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Tio akan seserius itu.
“Selama tiga bulan ini aku menghilang, karena bunda membawaku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di sana aku terapi dan aku sempat kritis, Na,” Tio melanjutkan penjelasannya.
“Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”
“Ya ampun, Tio….Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?” keluh Husna dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar semuanya kamu ninggalin aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut kehilangan kamu, Na.” Tio menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya seorang anak kecil.
Melihat kesedihan pacarnya itu hati Husna hancur. Husna meraih tangan Tio dan memegangnya erat-erat.
“Aku cinta sama kamu, dan aku cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar Husna sambil menatap Tio tulus.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah, Na, aku nggak tahu kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau mungkin tiga tahun lagi,” tambah Tio dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh…… demi aku,” tambah Husna meyakinkan Tio.
Tio terharu dengan perkataan Husna. Ia merasa semangat hidupnya kembali lagi.
“Aku janji sama kamu, aku akan berusaha untuk sembuh.”
Tio langsung memeluk Husna dengan erat. Sudah lama pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam kebersamaan itu. Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun sebenarnya Husna tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin memberikan semangat penuh untuk Tio, karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Tio ke Singapura mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Husna hanya ingin memberikan kenangan yang terindah untuk Tio. Kenangan yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Tio rasakan. Mereka berdua benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Husna, ia berharap ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori indah dalam hidupnya. (diea-11)
0

Si Tomboy Itu ?

“Si tomboy itu ? ” tanyaku nggak percaya. Aku bergidik , kutatap wajah Adin tajam. Mataku melotot , bola mataku nyaris keluar.
“Apa kamu nggak salah? “ ulangku lagi pada Adin, masih tetap nggak percaya. Adin mengeleng. Sambil mengangkat bahu senyumannya mengembang manis. Nyaris tanpa beban.
“Emangnya kenapa? Ada yang salah dengan dia?“ Adin balik bingung dengan sikapku. Kali ini aku yang menggeleng. Lama kupandangi cewek berambut cepak bersegi yang jaraknya dua puluh meter di depan mataku. Cewek yang sudah seminggu ini jadi anak baru di sekolahku. Gaya urakanya dengan teman cowok sekelasnya sambil menyeruput minuman di tangannya sama sekali tak mengundang simpatiku . Aku cuma berfikir, gimana kalo sampai Samudra tahu cewek inilah yang kusodorkan padanya buat ia jadikan pacar. Apa nggak berabe? Adin menyikutku. Aku tersentak.
“Gimana?”Adin masih berapi-rapi.
“Apanya?” kataku makin malas merespon.
“Kamu setuju cewek itu jalan dengan Sam? Sedikit tomboy sih tapi sebenarnya dia sangat cantik . Gayanya juga nggak kalah keren denganmu”, Adin menyentilku. Aku mulai ngakak. Adin hafal betul dengan sikapku kalau nggak suka dengan sesuatu.
“Adin, Adin, elo mikir dong! Masak cewek kayak gitu elo jodohin dengan abang gue? Yang benar saja ! Apa dia mau? Walau dia belum punya cewek, sedikitnya aku tahulah seleranya ”, aku mulai nyolot. Ganti Adin yang sewot.
“Heh, emangnya abangmu kecakepan apa? Kayak Budi Anduk gitu?” Adin nyerocos. Nyinyirannya kumat.
“Hah ? Ya Ampyun !!! Ganteng banget tuh…. Nggak ada yang lebih parah apa ?? Ente mau muji abang ane apa mau ngejelek-jelekin dia?” protesku nggak terima.
“He..he..Ok,ok,ok, Sorry deh!!! Just kidding...Ya udah aku gnti…Kayak Choky Sitohang or artis idolamu, Naga Lyla ?” ralat Adin cepat.
“Yah, kalo dibandingin sama 2 cowok itu, abangku jelas kalahlah. Tapi juga nggak gitu-gitu amat sih jeleknya, lumayan gitulah untuk ukuran cowok kyak dia.Tapi kalo menurutku, rasanya nggak pantes aja kalo kita gandengin ama Si Tomboy itu. Lagian kamu dibayar berapa sih ama sepupu lo itu? Segitu semangatnya!” aku mulai curiga jangan-jangan Adin punya maksud lain dibalik semua permainan ini. Adin melengos.
Sedetik kemudian langkahnya gontai nyaris meniggalkanku. Nggak ingin cuma gara-gara cewek itu Adin benar-benar marah dan memusuhiku aku menyusul langkahnya kemudian.
“Elo marah beneran nih ceritanya?” tanyaku sambil menggodanya.
“Kita taruhan! Kalo abangmu nggak kepincut dengan cewek itu, aku bakal traktir kamu sepuluh hari berturut turut. Gimana?” Adin serius mengancam. Aku mulai berhitung. Membayangkan makan di Teens Cafe favoritku selama sepuluh hari.
“Apa bukan perbaikan gizi namanya itu ?” kulihat Adin makin nggak peduli. Dia benar benar meninggalkanku. Masuk ke kelas dengan wajah sedikit ditekuk.
Perjodohan itu cuma main-main. Nggak serius, apalagi beneran. Juga taruhanku dengan Adin. Sama sekali nggak ngisi otakku. Aku cuma pengen tahu kenapa Samudra sampai detik ini nggak mau punya pacar. Padahal, kupikir umurnya yang sudah lewat sweet seventeen-lah, sudah pantas buat cari gandengan.
“Lha , terus giliranku kapan? Kalau kau saja yang ditakdirkan lahir 2 tahun lebih dulu dari aku belum mau pacaran apa nggak jadi bomerang buatku nantinya di depan mama? Mama pasti memprotesku bahkan menyemprotku habis-habisan dengan kalimat saktinya kalau tahu aku mulai coba-coba naksir cowok. Sementara kakakku masih adem ayem aja buat urusan cewek.”
“Ayo dong Sam, kapan sih gue dikenalin cewekmu? Atau jangan- jangan kamu nggak tertarik ama yang namanya makhluk dari kaum hawa ?”, aku mendesak Samudra. Wajahnya yang lumayan ganteng mirip papaku cuman cengar-cengir santai. Sam malah asyik mengutak-atik mainan tamiyanya. Kayak anak kecil saja.
“Heh! Dasar katrok, kurang gaul, kurang kerjaan daripada gini mending kamu nge-date sana ama cewek mana gitu, apa lo nggak ngiri lihat temen-temen lo yang sudah pada punya gandengan? Kak Bryan, kak Revi, kak Arlan gitu?”
“Emmm, so?”, jawabnya asal. Aku makin dongkol nggadepin kakakku satu ini.
“So? Ih, susah ya ngomong ama anak kecil kayak loe. Eh, ngomong-ngomong kak Bryan udah beneran punya gandengan belum, sih? Kalo belum aku kirim salam deh ! Sampein salamku ya, Sam!!” kataku cari kesempatan. Setahuku cowok berwajah indo itu masih ngejomblo. Yah, siapa tahu saja dia naksir aku yang juga masih sendiri. Pikiran nakalku mulai ngelantur.
“ Heh anak kecil ! Tahu apa kau soal truk gandeng itu? Mending kamu pikirin gimana caranya bikinin mie goreng yang enak buat kakakmu ini. Gih, sana ke dapur !!” Sam mengusirku. Aku manyun.
“Udah sana cepatan!” Sam yang kian nggak sabar menimpukku dengan bantal kursi di dekatnya. Pertanda aku mesti ngalah untuk untuk sementara waktu.
“Sorry, sorry !! Aku janji nggak akan nanya-nanya lagi soal cewek ama kamu. Kecuali Si Tomboy itu , oke boss ?” mulut nyinyirku kelepasan ngomong. Lantas, aku ingat janjiku pada Adin. Kalau perjodohan itu nggak boleh bocor. Kalau taruhan itu cuma kita berdua yang tahu. Terus, kenapa dengan nekatnya aku ngomong soal cewek itu pada kakakku? Pada orang yang jelas-jelas jadi sasaranku dan Adin. Ah, nasi sudah menjadi bubur. Mau jadi nasi lagi sudah kelewat lembek.
“Eits, siapa yang elo ngomongin tadi? Si Tomboy? Si Tomboy yang mana?” Sam penasaran menahan langkahku yang mulai menjauhinya . Aku pura-pura nggak dengar tapi aku hapal betul dengan sikap kakakku kalau lagi penasaran seperti ini. Sam makin menarik tanganku agar aku kembali dan duduk di depannya.
“Maksud lo, si Tomboy cewek anak baru di sekolah kita? Yang rambutnya cepak habis kayak cowok? Yang gaulnya nggak cuma ama cowok-cowok sekelasnya, tapi juga cowok-cowok di kelasku? Yang tiba-tiba ngetop karena gayanya yang sok jagoan? Iya, kan?” Sam mencecarku panjang lebar . Aku nggak berkutik. Kupandangi wajah Sam yang sudah mulai tertarik pada cerita tentang cewek itu.
“Kamu kenal dia ?” tanyanya. Aku mengangkat bahu.
“Cuma kenal sedikit . Yang aku tahu dia sepupu Adin. Namanya Kezia,” aku menjawab sekenanya. Sejujurnya aku memang nggak pernah tahu dan nggak mau tahu tentang cewek itu. Semua pertaruhan itu Adin yang mengatur. Itu sebabnya kubiarkan Adin membuat skenarionya sendiri .
“Kalo gitu tolong sampein salamku ke dia. Bilang sekalian kalo surat cintanya udah sampai ke tanganku dengan selamat. Tapi sayang, aku sama sekali nggak berminat bacanya tuh! Puisinya terlalu norak!” kata Sam dingin. Jantungku seketika berdegup kencang. Aku takut Sam tahu semua keisengan itu. Aku jadi kapok. Tapi untung Sam nggak terlalu mempersoalkanya. Dia kembali larut dengan keasyikanya mengutak-atik tamiya. Leganya !
Orang pertama kucari dalam persoalan ini adalah Adin. Yeah, cewek tengil sahabatku itu tiba–tiba saja bak hilang ditelan bumi. Sepertinya ia tahu kalau aku bakal marah besar dan melabraknya habis-habisan. Gimana enggak? Surat cinta yang Adin karang mengatas namakan Si Tomboy itu nyatanyakan cuma untuk menjerumuskan aku. Boro-boro abangku jatuh cinta pada Si Tomboy, meliriknya saja rasanya sudah ogah!
“Darimana aja sih, Din ?” semprotku ketus pada Adin yang dengan santainya menghampiriku setelah aku rela berpanas-panasan menunggunya hampir satu jam.
“Biasa, kayak nggak tahu aku aja ? Aku habis menyelipkan surat cinta Samudra di atas tasnya Kezia,” jawabnya benar-benar nggak punya dosa.
“Hah? Apa aku nggak salah denger? Mati deh aku!” kataku seraya memukul jidatku sekeras-kerasnya. Kulihat Adin kebingungan.
“Lho emangnya kenapa? Bukanya semua ini rencana kita?” Kali ini aku malas meladeni Adin. Malas mengurus soal perjodohan antara kakakku dengan Si Tomboy itu. Aku sudah nggak peduli. Daripada aku kena semprot Sam dan hubungan persaudaraan menjadi bubar. Lebih baik aku nggak berteman dengan Adin.
Jantungku makin nggak karuan saja rasanya saat kutemui Sam di depan gerbang sekolahan. Wajahnya celingukan. Kelihatanya dia sedang nunggu seseorang.
“Ngapain ,Sam ?” tanyaku makin takut rahasia terbongkar. Sam cengar-cengir. Membuatku kian penasaran. Dia lantas menarik tanganku dan membisikan sesuatu di telingaku.
“Udah dua hari ini gue nunggu dia sepulang sekolah, tapi nggak pernah berhasil. Dia udah duluan jalan dengan cowok-cowok sekelasnya ,bikin gue bete”, Sam mulai mengoceh.
Aku keblingsatan jangan-jangan apa yang Adin omongin benar adanya kalau Sam tanpa sengaja naksir pada Si Tomboy itu. Pikiranku kembali terlintas saat Adin berkata dengan bangganya yakin bakal menang taruhan. Dan aku harus rela mengorbankan tabunganku habis dikuras Adin untuk mentraktirnya selama sepuluh hari berturut-turut. Gila !
“Jadi kamu nunggu dia ?”, aku masih nggak percaya ucapan kakakku.
Sam memandangku. Kedekatanku dengan kakakku satu ini nyaris nggak terbatas. Sam nggak cuma sekedar kakak, tapi juga teman untuk masalah. Dia nggak segan-segan berbagi cerita apa aja denganku. Begitu juga denganku.
“Dirimu tahu nggak? Cewek itu hebat. Kalo nggak ada dia, mungkin aku udah babak belur dihajar genknya Reno. Dia nggak cuma jago bela diri, tapi juga pintar bernegosiasi”, cerita Sam masih dengan semangat 45-nya. Bikin aku kian nggak ngerti dengan apa yang diceritakanya.
“Maksud lo?” tanyaku bingung.
“Masak kamu nggak ngerti juga. Adikku sayang, Reno tuh nyangka aku naksir Windy, ceweknya. Padahal tahu kalo itu pacar Reno juga enggak. Rupanya nggak cuma gosip. Beberapa lembar puisi cinta nyasar ke tangan Windy dan semuanya pake atas namaku. Dia berusaha nyelesain salah paham itu dengan mengaku pacarku gitulah”, Sam makin serius. Sementara aku makin deg-degan. Nggak nyangka dengan semua yang diceritakan kakakku.
Dan aku langsung bisa ambil kesimpulan kalo skenario yang dibuat Adin yang berantakan nggak karuan. Beberapa puisi cinta yang ditulis Adin untuk cewek tomboy itu malah berbalik menyerangku, membuatku pusing sepuluh keliling.
Sam tambah serius. Aku nggak pernah lihat dia serius ini.
“Kau mau nggak bantuin kakak kau ini? Aku pengen banget ketemu cewek itu. Jalan bareng atau sekedar traktik dia minuman dan ngucapin thanks berat atas semua kebaikanya”, Sam menantangku. Aku gelagapan. Kekalahan itu kian dekat di depan mata.
“Please! Cuma kamu adikku sayang yang bisa nolong aku!” Sam terus merayuku.
Akhirnya aku mengangguk. Segera aku temui Adin di kantin lalu segera mencari Si Tomboy itu. Ternyata Adin benar ! Si Tomboy itu terlalu cantik buat jadi seorang cowok. Hidungnya yang mancung berpadu dengan alis dan mata yang bagus. Menciptakan keindahan dan pesona tersendiri. Hanya kulitnya yang sedikit gelap. Tapi semua itu nggak mengurangi semua kecantikanya.
Si Tomboy juga terlalu lembut buat ukuran seorang jagoan. Tutur katanya manis, walau sikapnya sedikit sangar. Nyatanya penilaianku kali ini sungguh terbalik. Aku nggak melihat Si Tomboy seperti yang ada dalam pikiranku.
Saat kubawa ia ke hadapan Sam dan kukenalkan mereka berdua, keduanya sama-sama tersipu. Sam dan Kezia sama-sama salah tingkah. Ternyata perjodohan itu nggak sia-sia. Mereka kelihatannya sama-sama saling suka.
Kakakku emang bahagia tapi sekarang ganti aku yang kecewa. Aku harus menyerah kalah taruhan dengan Adin. Ah, aku nggak bisa membayangkan betapa bangganya Adin dengan kemenangannya. Apa boleh buat? Ah, cinta ternyata susah di tebak! (Diea-2011)
0

Akhir Tanpa Ayah Bunda

“Mbak, ayo cepet sarapan sana ! Udah jam 6 lebih itu!” omel bunda.
“Iya,iya. Ini juga lagi sarapan. Kalo di omeli terus kapan makannya, bun?” protesku.
“Kamu juga sih yang salah. Udah tahu pagi-pagi mau ke salon pake tidurnya malam-malam lagi, jadi keburu-buru kan?” tambah bunda.
“Ya ya ya, udah ni lho, bunda! Ayo berangkat!” kataku setelah menyelesaikan sarapan.
Namaku Diarista, Diarista Salfa Pratama. Tapi orang-orang terdekatku lebih suka memanggilku Dea, lebih simpel katanya. Aku penguasa rumah nomor wahid diatas ke-4 adik-adikku yang dengan kata lain anak pertama dari 5 bersaudara. Aku tercatat sebagai murid kelas 3 di SMPN 1 Tulungagung saat ini. Dan pagi ini adalah awal dari sebuah memori sejarah akhir masaku, Wisuda Kelulusan. Yap, nggak terasa sudah 3 tahun aku belajar di SMP bersama teman-teman dan hari ini aku akan resmi dilepas oleh sekolahku itu. Makanya, bunda udah ngomel-ngomel nggak jelas gitu dari pagi. Padahal kan aku yang punya acara, kenapa yang jadi repot bunda sih? Tapi pasrah aja lah, mau gimana lagi?
“De..Dea..Belum apa-apa udah bengong, mikirin apaan? Pengen cepet-cepet ketemu cowoknya ya?” goda Tante Tini mengagetkanku. Dia yang menjadi penata riasku hari ini. Tante Tini memang punya salon jadi apa salahnya menodong saudara sendiri untuk itu, hitung-hitung menghemat biaya.
“Ah, tante! Orang Dea nggak punya cowok” belaku.
“Lha, mikir apa? Masih takut kalo nanti jadi badut ancol kalo udah di make up gini?” tanya Tante Tini.
“Ya begitulah!”
“Udah tenang aja! Tante nggak akan bikin kamu jadi badut kok,” ujar tante Tini masih sibuk mewarnai wajahku. Bakal jadi apa aku nanti?
“Emm, masih segini saja wajahku sudah menakutkan. Apalagi nanti kalo pake udah lengkap, cicak di dinding bisa jatuh karena takut tuh,” kataku. Tante Tini dan bunda cuma tersenyum. Kemudian Tante Tini menyuruhku memilih kebaya yang ada di lemari kaca untuk aku pakai. Aku memilih kebaya berwarna putih tulang dengan paduan warna krem yang dihiasi payet di bagian depan dan manik-manik kecil berbentuk rantai menggantung di bagian bawah. Untuk bawahan aku memilih rok kebaya model duyung supaya tidak menyulitkanku berjalan nanti. Sedangkan untuk jilbab, tante Tini memadukan jilbab paris warna kuning, krem, coklat muda, dan putih tulang yang dimodifikasi dan diberi tambahan bros gold bermata di sisi depan.
“Cepetan dipakai sana, udah jam segini,” kata tante Tini setelah melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 lebih 10 menit. Aku hanya menurut. Aku masuk kamar mas Fryand, anak tente Tini, yang ada di samping kiri lemari kaca kemudian mengganti kostum lamaku dengan kebaya itu.
“Not badI ! Bagus gitu, cocok,” kata tante Tini ketika aku keluar dengan “baju baru” itu.
“Aku nggak pede, tante! Aku paling males kalau di make up dan pake baju ribet kayak gini” sahutku.
“Sudahlah, cepet sini. Tante selesaikan make up kamu,” ujar tante Tini.
  
“Tante, terima kasih ya. Dea berangkat,” Aku berpamitan dengan tante Tini setelah memakai high heels-ku. Itu tandanya aku sudah siap pergi ke Gedung Victoria, tempat dimana aku akan diwisuda. Siap? Aku nggak yakin seluruh diriku menyetujuinya.
“Iya, sama-sama. Pelan-pelan aja naik motonya, dek Win” pesan tante Tini pada bunda
“Insya Allah, Mbak Tini. Assalamualaikum,” kata bunda
“Waalaikumsalam”
Sepanjang perjalanan aku hanya bisa menatap jalanan sambil berdoa, berdoa, dan berdoa. Aku berharap takkan terjadi sesuatu yang menakutkan disana. Sesekali bunda mengajakku bicara atau bertanya namun aku cuma menjawab sekedarnya saja, pikiranku teracuni oleh perasaanku sendiri.
Sejenak kemudian ponselku berbunyi. Siapa nih yang SMS disaat-saat seperti ini? Aku merogoh tas kecil yang ada dipangkuanku dan mencari benda yang bernyanyi itu. Fafa?

Dek, udah dateng belum? Kok aku belum liat kamu.

Aku membaca pesan itu berulang kali namun indera kepercayaanku kali ini tetap tidak bisa bekerja dengan baik. Aku tak percaya. Dia teman satu kelasku dan dia lebih suka memanggilku adik padahal aku lebih dahulu hidup di dunia daripada dia. Aku cukup dekat dengannya tapi hanya melalui jalur elektronik yaitu SMS. Yah, walau begitu aku juga tetap menyimpan rasa….kagum padanya.

Belum mas. Aku masih dijalan ini. Nervous banget aku sekarang, huh ! Kamu udah disana?

Aku segera menekan tombol send lalu memasukkannya ke dalam tas dan kembali menatap jalan. Tanpa sadar senyumku mengembang dan tingkat percaya diriku meningkat.

Pantas saja ! Of course, sudah disini bareng anak-anak. Cepat datang ya, aku pengen foto sama kamu. Datang sama siapa? Ayah atau Ibu?

Deg ! Nafasku tertahan membaca pesan itu. Terasa berat untuk menghembuskannya kembali. Namun ketika mataku membaca 2 kalimat terakhir pesan itu perasaan galau ganti memenuhi.

Gtw. Ini lagi sama bunda. Tapi kata bunda , nanti ayah yang datang ke acara, setelah praktek di RS sekitar jam 8 lebih. Kalau kamu, ayah kamu yang datang, bukan?

Semoga hal itu benar-benar terjadi. Ayah akan benar-benar datang ke acara wisudaku ini. Aku mencoba mengusir perasaan ragu yang tiba-tiba menghantuiku. Ponselku berbunyi lagi.

Iya adek, ayahku yang datang. Pinter kamu nebaknya. Ya sudah, hati-hati dijalan ya. See you later, my little.

Iya dong, kan keturunan Mama Loreng ini. Siip, beres ! See you, brother.

Aku segera membalas pesan itu dan kembali fokus pada kegiatanku sebelumnya, menatap jalanan.
10 menit kemudian, motor yang aku tumpangi pun memasuki area Gedung Victoria. Teman-teman sudah pada datang ya? Rame banget. Aku turun dari motor kemudian mencium tangan bunda.
“Nanti ayah datang beneran kan, bun?” tanyaku memastikan sebelum bunda pergi.
“Iya. Kemarin kata ayah gitu kok. Jadi kamu nanti pulang bareng ayah, mbak. Ya sudah bunda pulang ya. Nanti ayah biar langsung masuk kalau udah datang,” ujar bunda lalu menyalakan motor dan pergi.
Aku kemudian berbalik badan dan menghampiri teman-temanku. Sedikit berbincang-bincang dan berpose bersama di depan kamera. Bahagia sekali rasanya melihat wajah dan penampilan mereka hari ini. Para cowok juga tak mau ketinggalan. Mereka ikut bergabung bersama kami untuk foto bersama, termasuk Fafa. Ia menatapku kemudian tersenyum. Aku membalasnya dengan senyuman termanis yang bisa aku berikan. Kau terlihat berbeda dengan jasmu, Fa! gumamku. Ternyata ia benar atas perkataannya. Sekarang ia berdiri di samping kananku dan tersenyum menghadap kamera. Yap, kami benar-benar berfoto bersama. Ups, salah ! Lebih tepat kalau aku mengatakan, kami berfoto berdua. Perasaan senangku takkan bisa tertutupi sekarang. Aku berfoto dengan cowok yang aku kagumi. Dia putih, tinggi, cerdas, dan atlit sepak takraw sekolah. Fafa juga suka berpuasa, rajin pergi ke masjid dan satu hal yang penting, hobinya adalah membaca Al Qur’an. Keren kan? Itu alasan mengapa aku mengaguminya.
Sesaat kemudian, semua anak diperintahkan untuk berbaris rapi sesuai nomor urut dan kelas. Lalu kami memasuki Gedung Victoria satu per satu dan menempati kursi yang telah disediakan sesuai kelas dan nomor urut kami.
Ketika tiba saatnya pengalungan gordon atau medali kelulusan ke setiap wisudawan dan wisudawati, aku sempat menengok ke belakang, tempat duduk wali siswa, untuk mencari keberadaan ayahku. Harusnya ayah duduk di bangku paling kanan pada baris ke-3 sesuai nomor urutku, 11. Tapi nihil, ayah tak terlihat di situ. Aku mencoba berpikir positif, mungkin ayah belum datang. Sesekali setelah itu, aku juga mencoba menengok ke bangku itu. Tapi hasilnya tetap tidak ada tanda-tanda ayah datang. Apa boleh buat? Mungkin ayah memang sibuk jadi tak bisa datang. Akhirnya aku berhenti untuk menoleh ke bangku itu.
Acara wisuda hari ini berjalan lancar. Air mataku sempat memaksa ingin keluar ketika mendengar seorang anak membacakan puisi di depan yang diiringi lagu perpisahan. Senyumku juga tak pernah berhenti tersungging ketika pengumuman 5 siswa berprestasi dibacakan di akhir acara dan meminta 5 orang anak yang terpanggil namanya untuk maju. 2 dari 5 nama itu berasal dari kelasku. Dan keduanya itu cowok, Enno dan Fafa. Walaupun bukan namaku yang dipanggil tapi aku cukup bangga dengan kelasku terlebih lagi 2 anak itu.
Namun senyumku tersebut ternyata tak dapat terus menghiasi bibirku ketika acara usai dan mendapati ayahku benar-benar tak datang diacara wisudaku. Setelah melewati pintu keluar, aku mengirim pesan kepada bunda menanyakan apakah ayah hadir di acara itu. Aku juga memberitahunya bahwa acara wisudaku telah usai dan diperbolehkan pulang. Tak ada balasan dari bunda untuk SMS-ku itu. Perasaanku yang gelisah semakin tak karuan. Aku memutuskan untuk menelpon bunda.
Tiit..tiit.. Nada sambung terdengar di ponselku.
10 detik..
Tak ada jawaban….
20 detik….30 detik...
Tetap tak ada jawaban dari bunda. Aku memutuskan hubungan itu dan mencoba menghubungi bunda lagi. Beberapa saat aku mendengar nada sambung dan kemudian terdengar suara bunda. Lega rasanya mendengar suara bunda. Aku mengabarkan acaranya sudah usai kemudian menanyakan keberadaan ayah.
“Ayah ada di rumah, tidur kayaknya. Katanya, ayah males datang kesana karena cuma acara wisuda SMP biasa. Nggak terlalu penting. Paling cuma gitu-gitu saja,” ujar bunda di ujung sana. Jawaban bunda itu benar-benar di luar dugaanku. Aku hanya bisa terdiam mendengar jawaban itu dengan ponsel masih menempel di telingaku.
“Oh iya, kamu pulang sendiri aja ya, mbak. Ayah kan lagi tidur. Bunda juga masih ada pengajian, nggak bawa motor tadi. Naik becak atau bareng temanmu gitu. Kalo ndak bawa uang, dibayar di rumah saja,” tambah bunda. Aku merasa seperti ada halilintar yang menyambarku. Klik ! Aku mematikan telepon itu begitu saja tanpa menjawab perkataan bunda.
Air mataku jatuh tak tertahankan lagi. Lalu aku berjalan menjauhi pintu keluar sambil menunduk. Di luar aku melihat teman-temanku yang bahagia bersama orang tua mereka. Mereka berfoto bersama di studio-studio foto mini yang terdapat di area gedung. Sedangkan aku? Jangankan berfoto, orang tuaku saja tak ada yang datang ke acara itu. Ketika ada anak yang memanggilku dan bertanya dimana orang tuaku, aku hanya perlu menjawab, mereka tak ada, tak datang, dan takkan menjemputku sekarang. Dan anak itu akan mengasihaniku tanpa bisa membantu apapun.
Perlahan aku terus berjalan menjauhi gedung itu menuju jalan raya sambil membawa tas berwarna biru muda di tangan kiri. Air mata ini terus mengalir membasahi kedua mataku walau aku telah sampai di bagian depan gedung megah itu. Aku memanggil becak lalu pulang. Yang ingin aku lakukan sekarang adalah masuk ke kamar, menangis, dan tertidur.

(diea-2011)
0

BACK TO DECEMBER

I'm so glad you made time to see me
How's life, tell me how's your family
I haven't seen them in a while
You've been good, busier then ever
We small talk, work and the weather
Your guard is up and I know why

'Cause the last time you saw me
Is still burned in the back of your mind
You gave me roses and I left them there to die

So this is me swallowing my pride,
Standing in front of you saying I'm sorry for that night
And I'd go back to December all the time
It turns out freedom ain't nothing but missing you
Wishing I'd realized what I had when you were mine
I'd go back to December, turn around and make it all right
I go back to December all the time

These days I haven't been sleeping
Staying up playing back myself leaving
When your birthday passed and I didn't call
And I think about summer, all the beautiful times
I watched you laughing from the passenger side and,
Realized I loved you in the fall
And then the cold came, the dark days when fear crept into my mind
You gave me all your love and all I gave you was goodbye

So this is me swallowing my pride,
Standing in front of you saying I'm sorry for that night
And I'd go back to December all the time
It turns out freedom ain't nothing but missing you
Wishing I'd realized what I had when you were mine
I'd go back to December, turn around and change my own mind
I go back to December all the time

I miss your tan skin, your sweet smile, so good to me, so right
And how you held me in your arms that September night,
The first time you ever saw me cry
0

YOU BELONG WITH ME (TAYLOR SWIFT)

You're on the phone with your girlfriend, she's upset
She's going off about something that you said
'Cause she doesn't get your humor like I do

I'm in the room, it's a typical Tuesday night
I'm listening to the kind of music she doesn't like
And she'll never know your story like I do

But she wears short skirts, I wear T-shirts
She's Cheer Captain and I'm on the bleachers
Dreaming about the day when you wake up and find
That what you're looking for has been here the whole time

If you could see that I'm the one who understands you
Been here all along, so why can't you see?
You, you belong with me, you belong with me

Walking the streets with you and your worn-out jeans
I can't help thinking this is how it ought to be
Laughing on a park bench, thinking to myself
Hey, isn't this easy?

And you've got a smile that could light up this whole town
I haven't seen it in a while since she brought you down
You say you're fine, I know you better than that
Hey, what ya doing with a girl like that?

She wears high heels, I wear sneakers
She's Cheer Captain and I'm on the bleachers
Dreaming about the day when you wake up and find
That what you're looking for has been here the whole time

If you could see that I'm the one who understands you
Been here all along, so why can't you see?
You belong with me

Standing by and waiting at your back door
All this time how could you not know?
Baby, you belong with me, you belong with me

Oh, I remember you driving to my house in the middle of the night
I'm the one who makes you laugh when you know you're 'bout to cry
And I know your favorite songs and you tell me 'bout your dreams
Think I know where you belong, think I know it's with me

Can't you see that I'm the one who understands you?
Been here all along, so why can't you see?
You belong with me

Standing by and waiting at your back door
All this time, how could you not know?
Baby, you belong with me, you belong with me

You belong with me
Have you ever thought just maybe
You belong with me?
You belong with me
 
Info

ANYEONG HASEO

Selamat datang di -Silver Notes of Dia-. Sebuah site catatan saya. Saya senang kamu ada di site saya, dan selalu berharap kamu akan sering datang kembali untuk membaca catatan saya. Ada banyak hal menarik disini yang mungkin bisa membantu kamu baik dalam masalah pelajaran, kehidupan, atau sekedar butuh bacaan untuk mencari ide-ide dan pemikiran baru.

A Little Thing

Nama saya Die Fara. Saya bukanlah apa-apa tanpa ilmu. Saya hanya ___ Pelajar | GirlBoy | FaceBooker | Trouble Maker | Saya juga bukan seorang Blogger, Penulis, Motivator, atau apapun. Tapi, saya hanya Seseorang Yang Ingin Selalu Belajar dan Berbagi. Semoga Bermanfaat :)...